Kamis, 07 Mei 2009

Pentingnya Pendidikan

Di dalam Islam, pendidikan adalah amat penting. Ia adalah merupakan fardhu ain bagi setiap mukalaf dan fardhu kifayah bagi masyarakat Islam mengusahakan tempat terwujudnya gelanggang pendidikan itu. Ajaran Islam adalah menuntut umatnya agar menitikberatkan ilmu dan pendidikan. Cuma ilmu yang dipelajari itu ada yang fardhu ain, ada yang fardhu kifayah dan ada yang sunat. Tujuan utama pelajaran dan pendidikan itu diwujudkan bukan semata-mata hendak menguasai berbagai-bagai bidang ilmu pengetahuan, tapi hendak melahirkan insan yang bertaqwa. Yang mana Allah itu menjadi cinta agungnya, Akhirat adalah menjadi matlamat hidupnya, dunia adalah tempat bercucuk tanam segala bentuk kebaikan dan ketaatan untuk hasilnya diperolehi di Akhirat sana agar selamat dari Neraka dan berjaya masuk Syurga. Perlu diingat, setelah berjaya membentuk insan yang bertaqwa melalui pelajaran dan pendidikan, ertinya kita telah dapat membentuk rekrut-rekrut pasukan perjuangan atau pendakwah yang telah terlatih dan pandai mengguna senjata ilmu untuk menerima satu kewajipan atau panggilan masyarakat. Selepas belajar atau siap siaga untuk memperjuangkan apa yang telah diperolehi dari sekolah, atau dengan kata-kata lain rekrut-rekrut para pelajar tadi berkewajipan datang bertebaran di tengah kehidupan manusia menyampaikan pelajaran serta membangunkan syakhsiah manusia agar mereka menjadi insan-insan yang bertaqwa inilah yang disebut oleh Al Quranul Karim apa yang dinamakan -" amrun bil makruf wanahyun anil mungkar " Di sini dapat kita faham bahawa sekolah bukan semata-mata untuk ilmu agar dapat melahirkan ahli ilmu, atau melahirkan ahli ilmu yang bertauliah dengan tujuan untuk makan gaji atau ilmu bukan untuk sara hidup dan untuk kemegahan dan nama di dunia, tapi hendak melahirkan rekrut-rekrut Tuhan atau rijalullah agar dapat bertanggungjawab menyampaikan ajaran Allah Taala di bumi Allah ini. Mereka adalah guru-guru yang mengenal Allah kepada manusia, pejuang-pejuang kebenaran yang hidup mati untuk Allah, pendakwah-pendakwah atau daie-daie yang gigih yang matlamatnya hanya satu iaitu agar agama Allah itu diterima oleh manusia dan dapat mengatasi seluruh agama di atas muka bumi ini. Dengan kata-kata lain agar manusia seluruhnya menyembah Allah yang mencipta mereka. Begitulah matlamat pelajaran dan pendidikan, begitu besar ertinya kepada manusia. Ia adalah merupakan roh dan nadi kepada seluruh kehidupan, agar seluruh kehidupan manusia berjalan dengan penuh disiplin, bertolong bantu, bekerjasama, berjalan di atas syariat Allah. Penuh kasih sayang dan harmoni. Kalau bukan tujuan ini, sekalipun pelajar-pelajarnya cemerlang di dalam pelajaran, lahir ahliahli ilmu di berbagai bidang, munculnya cendiakawan-cendiakawan yang terbilang, pada Islam pelajaran dan pendidikan itu atau sekolah itu telah gagal yang amat besar. Kerana ia telah melahirkan manusia-manusia yang tidak kenal penciptanya, membelakangkan syariat-Nya, hidup di Akhirat bukan keutamaan, dunia menjadi buruan, dengan itu lahirlah manusia yang mementingkan diri, sombong, gila nama dan glamour. Maka lahirlah budaya jatuh menjatuhkan, fitnah memfitnah, singgung menyinggung, umpat mengumpat, kata mengata. Maka dengan itu mengundang huru-hara di dalam kehidupan. Akhirnya semua manusia sudah tidak merasakan lagi keselamatan dan keamanan. Oleh itu kita melagang pendidikan bukan main-main, ia adalah satu tanggungjawab yang amat besar, yang memerlukan jiwa besar. Membangunkan pendidikan bukan boleh sambil lewa, kerana pada pendidikan itu rahsia terbangunnya syahsiah manusia yang bertaqwa. Sekaligus dapat membangunkan kemajuan dan tamadun dunia. Ini sesuai manusia itu sebagai khalifah Tuhan di bumi, agar segala-galanya berjalan di atas syariat Allah. Moga-moga pendidikan ini adalah benih yang kita tanam yang akan menumbuhkan kebun pendidikan di masa depan.

Pendidikan Masa Hindu-Budha

Sistem pendidikan pada masa lalu baru dapat terekam dengan baik pada masa Hindu-Buddha. Menurut Agus Aris Munandar dalam tesisnya yang berjudul Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14—15(1990). Sistem pendidikan Hindu-Buddha dikenal dengan istilah karsyan. Karsyan adalah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala.
Patapan memiliki arti tempat bertapa, tempat dimana seseorang mengasingkan diri untuk sementara waktu hingga ia berhasil dalam menemukan petunjuk atau sesuatu yang ia cita-citakan. Ciri khasnya adalah tidak diperlukannya sebuah bangunan, seperti rumah atau pondokan. Bentuk patapan dapat sederhana, seperti gua atau ceruk, batu-batu besar, ataupun pada bangunan yang bersifat artificial. Hal ini dikarenakan jumlah Resi/Rsi yang bertapa lebih sedikit atau terbatas. Tapa berarti menahan diri dari segala bentuk hawa nafsu, orang yang bertapa biasanya mendapat bimbingan khusus dari sang guru, dengan demikian bentuk patapan biasanya hanya cukup digunakan oleh seorang saja.
Istilah kedua adalah mandala, atau disebut juga kedewaguruan. Berbeda dengan patapan, mandala merupakan tempat suci yang menjadi pusat segala kegiatan keagamaan, sebuah kawasan atau kompleks yang diperuntukan untuk para wiku/pendeta, murid, dan mungkin juga pengikutnya. Mereka hidup berkelompok dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama dan nagara. Mandala tersebut dipimpin oleh dewaguru.
Berdasarkan keterangan yang terdapat pada kropak 632 yang menyebutkan bahwa ” masih berharga nilai kulit musang di tempat sampah daripada rajaputra (penguasa nagara) yang tidak mampu mempertahankan kabuyutan atau mandala hingga jatuh ke tangan orang lain” (Atja & Saleh Danasasmita, 1981: 29, 39, Ekadjati, 1995: 67), dapat diketahui bahwa nagara atau ibu kota atau juga pusat pemerintahan, biasanya dikelilingi oleh mandala. Dalam hal ini, antara mandala dan nagara tentunya mempunyai sifat saling ketergantungan. Nagara memerlukan mandala untuk dukungan yang bersifat moral dan spiritual, mandala dianggap sebagai pusat kesaktian, dan pusat kekuatan gaib.
Dengan demikian masyarakat yang tinggal di mandala mengemban tugas untuk melakukan tapa. Kemakmuran suatu negara, keamanan masyarakat serta kejayaan raja sangat tergantung dengan sikap raja terhadap kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, nagara perlu memberi perlindungan dan keamanan, serta sebagai pemasok keperluan yang bersifat materiil (fasilitas dan makanan), agar para pendeta/wiku dan murid dapat dengan tenang mendekatkan diri dengan dewata.

Pendidikan Masa Kolonial

Pada masa ini, wajah pendidikan Indonesia lebih terlihat sebagai sosok yang memperjuangkan hak pendidikan. Hal ini dikarenakan pada saat itu, sistem pendidikan yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial adalah sistem pendidikan yang bersifat diskriminatif. Artinya hanya orang Belanda dan keturunannya saja yang boleh bersekolah, adapun pribumi yang dapat bersekolah merupakan pribumi yang berasal dari golongan priyayi. Adapun prakteknya sistem pendidikan pada masa kolonial lebih mengadopsi pendidikan ala Eropa.
Namun kemudian mulai timbul kesadaran dalam perjuangan untuk menyediakan pendidikan untuk semua kalangan, termasuk pribumi. Maka hadirlah berbagai institusi pendidikan yang lebih memihak rakyat, seperti misalnya Taman Siswa dan Muhammadiyah.
Pada masa ini sistem Eropa dan tradisional (pesantren) sama-sama berkembang. Bahkan bisa dikatakan, sistem ini mengadopsi sistem pendidikan seperti yang kita kenal sekarang: Mengandalkan sistem pendidikan pada institusi formal macam sekolah dan pesantren.

Pendidikan Masa Islam

Sistem pendidikan yang ada pada masa Hindu-Buddha kemudian berlanjut pada masa Islam. Bisa dikatakan sistem pendidikan pada masa Islam merupakan bentuk akulturasi antara sistem pendidikan patapan Hindu-Buddha dengan sistem pendidikan Islam yang telah mengenal istilah uzlah (menyendiri). Akulturasi tersebut tampak pada sistem pendidikan yang mengikuti kaum agamawan Hindu-Buddha, saat guru dan murid berada dalam satu lingkungan permukiman (Schrieke, 1957: 237; Pigeaud, 1962, IV: 484—5; Munandar 1990: 310—311). Pada masa Islam sistem pendidikan itu disebut dengan pesantren atau disebut juga pondok pesantren. Berasal dari kata funduq (funduq=Arab atau pandokheyon=Yunani yang berarti tempat menginap).
Bentuk lainnya adalah, tentang pemilihan lokasi pesantren yang jauh dari keramaian dunia, keberadaannya jauh dari permukiman penduduk, jauh dari ibu kota kerajaan maupun kota-kota besar. Beberapa pesantren dibangun di atas bukit atau lereng gunung Muria, Jawa Tengah. Pesantern Giri yang terletak di atas sebuah bukit yang bernama Giri, dekat Gersik Jawa Timur (Tjandrasasmita, 1984—187). Pemilihan lokasi tersebut telah mencontoh ”gunung keramat” sebagai tempat didirikannya karsyan dan mandala yang telah ada pada masa sebelumnya (De Graaf & Pigeaud, 1985: 187).
Seperti halnya mandala, pada masa Islam istilah tersebut lebih dikenal dengan sebutan ”depok”, istilah tersebut menjadi nama sebuah kawasan yang khas di kota-kota Islam, seperti Yogyakarta, Cirebon dan Banten. Istilah depok itu sendiri berasal dari kata padepokan yang berasal dari kata patapan yang merujuk pada arti yang sama, yaitu “tempat pendidikan. Dengan demikian padepokan atau pesantren adalah sebuah sistem pendidikan yang merupakan kelanjutan sistem pendidikan sebelumnya

Ki Hajar Dewantara (Yogyakarta, 2 Mei 1899-26 April 1959)

Ki Hajar Dewantara (Yogyakarta, 2 Mei 1899-26 April 1959)
Ki Hadjar Dewantara adalah seorang pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia pada zaman penjajahan Belanda.

Dewi Sartika (lahir di Bandung, 4 Desember 1884, 11 September 1947 Desember)

Dewi Sartika (lahir di Bandung, 4 Desember 1884, 11 September 1947 Desember)
Tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.

Raden Ajeng Kartini (1879-1904)

Raden Ajeng Kartini (1879-1904)
Pejuang Kemajuan Wanita Pada Zaman Penjajahan
Visit the Site